Usaha yang mulanya Cuma coba-coba ternyata justru membuahkan hasil. Bermula dari jualan makanan camilan, Dwi Kastuti, mengembangkan modalnya buat berbisnis kemoceng. “Saingan jualan camilan cukup banyak. Kebetulan, dulu saya pernah belajar membuat kemoceng. Jadi, saya coba membuat untuk dijual,” kenang perempuang asal dusun Jetis, Karanganyar ini.
Sembari menjajakan makanan kecil, suami Dwi juga menawarkan beberapa contoh kemoceng.”Pertama kali ada took yang memesan 400 kemoceng, kami senang sekali,” kenangnya lagi. Hingga kini, produksi kerajinan bulu ayam Dwi meningkat. Dalam seminggu, ia menjual 300 kodi kemoceng. Per kodi dijual Rp 29.000, Harga ini berlaku untuk pembeli dari Riau, Bali, Mataram, Madura, serta beberapa kota di luar Jawa. “Ongkos kirim tanggungan pembeli,” tandasnya.
Di Karanganyar, Dwi menjual dengan harga Rp 25.000 per kodi. Perbedaan harga ini lantaran kemasannya berbeda. Dwi mengaku, penjualan di kota tak seramai di luar pulau Jawa.”Kalau di Karanganyar penjualannya Cuma satu sampai dua kodi per took. Itupun lama lakunya,”keluhnya. Selain itu, biaya produksi per kemoceng di luar Jawa dan Karanganyar beda Rp 200. “Kalau kemoceng luar Jawa saya kemas pakai plastic jadi lebih mahal. Biaya produksinya Rp 1.200 per buah,” jelasnya.
Sampai saat ini, Dwi tak begitu faham mengapa permintaan selalu ada. Kemoceng sebanyak itu buat apa, saya juga tidak tahu,” herannya. Dwi Cuma beranggapan, di luar Jawa belum ada yang memproduksi kemoceng.
Meski sudah mendapat bantuan dari tujuh orang keluarga dan Sembilan karyawan lepas., Dwi mengaku belum bisa memenuhi permintaan. Lagi-lagi, kendalanya adalah modal. Tapi,Dwi terus berusaha memasarkan kemocengnya, terutama di Jawa Tengah.
Soal bahan baku, Dwi mengaku tak ada masalah. Rumah pemotongan ayam di Karanganyar masih bisa memasok bulu-bulu ayam. Harga bahan baku ini Rp 50.000 per lima kilogram (kg). “Bulu ayam sebanyak lima kg bisa untuk membuat 10 kodi kemoceng,” ujarnya ringan.
Sistem pemasaran Dwi dan suaminya cukup sederhana. Bukan lewat poster di pohon atau iklan di internet.”Masih seperti dulu. Sambil keliling jual camilan, suami saya membawa contoh kemoceng. Dari situlah, kami mendapat agen. Termasuk agen dari luar kota,” ucap perempuan kelahiran 31 tahun silam. Belum lama ini, Dwi mendapat agen baru dari Sragen.
Selama dua tahun berbisnis kemoceng, perekonomian keluarga Dwi semakin baik. Ian sudah bisa memperbaiki rumah dan membeli kendaraaan bermotor. “Masih roda dua, jadi ya masih kehujanan. Kalau mengantar pesanan dalam jumlah banyak, mesti bolak balik,” katanya jujur.
Agar tampak menarik, ibu tiga anak ini juga menambahkan pewarna pada bulu ayam untuk memperindah tampilan sulak buatannya. (sumber : kontan daily)
2 komentar:
saya sangat salut dengan usaha dari mba dwi.dari yang biasa menjadi luar biasa dan menghasilkan keuntungan yang luar biasa pula..
Keren..
salut..
saya juga mau jadi agennya..
asal menguntungkan..
hehe..:P
Posting Komentar