Sadar atau tidak, ternyata banyak orang yang memiliki masalah pada kakinya. Terlebih perempuan yang senang memakai sepatu bertumit tinggi (high heel). Alasannya, membuat badan terlihat lebih tinggi, kaki lebih jenjang, dan penampilan pun jadi lebih menawan. Namun, memakai high heel berkepanjangan bisa memicu masalah pada kaki seperti varises, cedera otot kaki, nyeri sendi, atau penumpukan darah beku di ujung telapak kaki.
Karena pernah mengalaminya, Elly pun mendirikan usaha pembuatan sepatu rumahan. Uniknya, dia mengambil pasar untuk kaki bermasalah. Dengan modal awal kurang Rp 1 juta, Elly mampu menggaet konsumen dari kelas sosial atas. "Modalnya hanya Rp 950 ribu dengan mesin jahit butut ini," kata Elly saat Kompas.Com bertandang di rumahnya,di Pejaten Barat, Jakarta Selatan.
Lantaran sang suami kala itu sedang sakit dan membutuhkan perhatian lebih, Elly memutuskan untuk meninggalkan kariernya sebagai liaison officer KONI pusat dan mendirikan usaha. Tahun 2000, dia lalu mendirikan usaha pembuatan sepatu PT Ethree Abadi. "Ketika suami saya akhirnya meninggal karena sakit, saya berjuang dengan anak-anak. Itu luar biasa," kata Elly.
Kala itu, Elly menuturkan, Ethree hanya mempunyai 1 pegawai. Untuk tenaga marketing, ketiga anak Elly yang melakukannya. Pemasaran pun berawal dari sekolah ke sekolah. Ujarnya, "Anak saya menawari gurunya, terus lama-lama berkembang."
Elly berfilosofi, kaki itu ibaratnya seperti sidik jari, tidak ada yang identik. Kaki yang terlihat normal pun kadang menyimpan masalah. Sering orang tidak sadar kalau dirinya mempunyai ukuran punuk atau telapak kaki besar sebelah. Karena itu, dalam membuat sepatu, Elly menggunakan ilmu anatomi. "Di telapak kaki ada 61 titik yang harus diperhatikan," tutur lulusan SMA Negeri 8 Jakarta ini.
Untuk membidik pasar, perempuan kelahiran Garut, 27 Agustus 1967 ini menggunakan kalkulasi sederhana. Menurut dia, dari 240 juta penduduk Indonesia, sepertiga di antaranya memakai sepatu. Dari 80 juta penduduk tadi, dia mengestimasikan ada 0,5 persen yang memiliki kaki bermasalah. Entah ukurannya ekstra besar atau sebaliknya, atau telapak beda sebelah. "Ini pasar yang spesifik. Sayang sekali kalau tidak digarap," ujarnya.
Di bengkel kerja Ethree, karyawan akan mengukur kaki klien. Pertama, telapak kaki yang diukur, kemudian punuk, lingkar pergelangan, hingga ukuran ibu jari kaki. "Prinsipnya kami membuat sepatu yang mencari kaki, bukan kaki yang mencari sepatu," tuturnya.
Pengukuran ini dilakukan agar sepatu tidak membuat kaki lecet meskipun masih baru. Selain membuat sepatu untuk kaki bermasalah, Ethree juga mempunyai divisi produk sepatu massal untuk pramugari dan pegawai negeri. Untuk bahan baku, perusahaan mitra binaan Departemen Perindustrian (Deperin) ini mendatangkan kulit dari Garut, Surabaya, dan Cianjur.
Elly menuturkan,"Di dunia, kulit paling bagus itu dari Garut, Indonesia. Hanya proses penyamakannya saja kurang maksimal, jadi kalah dari negara lain," ujarnya.
Pesanan dari Wapres
Meski hanya usaha sepatu rumahan, namun Elly mengatakan sepatu buatannya tidak kalah dengan brand ternama, seperti Bally, Aigner, atau Prada. Bahkan, mayoritas pelanggannya adalah para pejabat beserta istri dan pengusaha papan atas negeri ini. Sebut saja, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Gubernur DKI Jakarta, atau Fahmi Idris. "Pak Wapres pesan sepatu golf tanggal 3 November 2008, kemarin," kata ibu 3 putra ini.
Masalah harga, Elly mematok harga Rp 350.000 hingga Rp 2 juta per pasang sepatu. Tiap tahun, usaha ini berhasil meraup omset Rp 1 miliar, belum termasuk pendapatan dari divisi massalnya. Saat ini, pemenang penghargaan Gugus Kendali Mutu 2007 ini, tengah mengerjakan pesanan 500 pasang sepatu untuk pramugari Mandala Airlines.
Tahun lalu, Elly membuka gerai kedua di Sarinah, setelah sebelumnya ada di Cilandak. Elly berangan-angan ingin menjalin kerjasama dengan Departemen Sosial untuk membuat sepatu khusus anak-anak cacat. "Agar mereka juga bisa tampil gaya. Misalnya di hari besar, tahun baru, Lebaran, atau Natal," paparnya. (sumber : kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar