Laman

Kamis, 06 November 2008

Bisnis Ayam Bakar Jo Gelo

Rasa manis ayam bakar Jo Gelo memang membikin pengunjungnya kepincut. Sehari sedikitnya 300 ayam ludes terbeli. Tak membuka cabang karena khawatir turun kualitasnya.

Kedai yang menyajikan ayam, digoreng ataupun dibakar, susah dibilang sebagai tempat makan yang eksklusif. Di mana-mana ada. Tapi, kelebihannya, menu ayam ini memang sangat populer. Hampir semua daerah selalu mempunyai warung ataupun restoran ayam yang dibilang sebagai sajian khas daerah setempat. Itu pun tak cuma satu nama adanya.

Mari kita bertandang ke Kota Solo. Jangan cuma memanjakan perut dengan sego liwet, timlo, ataupun tengkleng. Kota Bengawan ini juga mempunyai sajian ayam yang mampu memancing jakun kita turun-naik. Salah satunya ayam bakar Jo Gelo.

Jo Gelo, yang arti harfiahnya jangan kecewa, mungkin memang tidak mau membikin pelanggannya menyesal sehabis njajan di sini. Nyari kedainya gampang. Lokasinya tak jauh dari Stasiun Purwosari. Tinggal menyusuri sebentar Jalan Slamet Riyadi, urat aortanya Kota Solo, sampailah kita di warung sederhana tapi lumayan luas bernama Jo Gelo.

Nah, justru dengan kesederhanaan penampilan inilah Jo Gelo sanggup menyenangkan para pelanggan yang sedikitnya menyantap 1.200 potong ayam bakar hingga tandas dalam sehari. Sepotongnya, ukuran seperempat ekor ayam-tinggal pilih paha atau dada-cuma Rp 7.500. Tambah nasi menjadi Rp 9.000, belum minumannya. Sudah jelas belasan juta rupiah omzet sehari yang masuk kas kedai ini.

Pengelola Jo Gelo juga mengakui usahanya laris-manis. Hanya, mereka tidak mau bilang omzet sebenarnya. "Itu rahasia, nanti kita malah didatangi petugas pajak. Susah nantinya," keluh Zaenal, menantu Hj. Siti Yatmi, pendiri kedai Jo Gelo. Padahal, lanjut Zaenal, Jo Gelo sudah menyetor pajak cukup besar setiap tahun.

Kedai ayam bakar yang mulai buka tahun 1984 ini memang dikelola sebagai bisnis keluarga. Pendirinya Siti Yatmi, yang berasal dari Ceper, Klaten, sekitar 20 km di barat Kota Solo. Semula mertua Zaenal ini membuka warung lesehan dengan menu ayam bakar. Lantas, sejak 1990 Bu Yatmi menambahinya dengan menu gudeg kendil.

Paduan ayam bakar dan gudeg ini rupanya cukup pas dengan selera penjajan. Bayangkan, di tengah suasana malam Solo yang syahdu, kita menyantap ayam bakar Jo Gelo, ditutup dengan minum teh manis panas. Muantep pol, mbakyu...!

Biarpun sudah cukup laris, pengelola Jo Gelo tentu ingin memperbesar usahanya. Maka, tahun 1993 mereka membeli satu warung yang letaknya selisih satu kios dari kedai semula. Penyajiannya yang semula lesehan diubah memakai kursi.

Eh, dasar sudah rezeki, ternyata Jo Gelo malah makin laris. Hingga dalam sehari mereka membakar sekitar 300 ekor ayam. Bahkan, di akhir pekan, mereka tambah sibuk membakar 500-600 ekor atawa setara 2.000-2.400 potong ayam. "Saat libur banyak pembeli dari luar Solo, terutama dari Yogya," jelas Zaenal.

Rahasia di balik manisnya Jo Gelo

Setiap hari Jo Gelo buka pukul 08.00 sampai pukul 20.00. Karena ini bisnis keluarga, hampir-hampir mereka tak mengenal hari libur. Bahkan, saat Lebaran pun mereka hanya libur pada hari raya pertama. "Itu enaknya kalau bisnis keluarga. Bisa gantian yang menjaga," ucap Zaenal, yang jelas ora gelo menjadi pengelola Jo Gelo.

Sebagai gambaran, bumbu ayam bakar Jo Gelo ini berbeda dengan bumbu ayam bakar lain. Kebanyakan ayam bakar memakai bumbu rujak, bumbu merah yang sarat dengan cabai, atau bumbu kecap sehingga terasa manis. Nah, Jo Gelo mengaku mempunyai resep sendiri. Ayam bakarnya juga terasa manis, tapi bukan manis kecap. Bumbu utamanya adalah gula merah dan gula putih. Jadi, rasa manisnya sangat dominan, rasa favorit orang Solo atau Yogya.

Cara membuatnya, gula merah dan gula pasir itu direbus dalam air sampai mendidih. Selanjutnya ayam dimasukkan, ditunggu sampai air itu hampir habis. "Tapi, jangan biarkan airnya habis, karena sisa air itu penting untuk bumbu bakarnya," jelas Zaenal, terus terang.

Membakarnya pun membutuhkan waktu singkat, rata-rata hanya tiga menit. Potongan ayam yang berenang dalam bumbu itu langsung dibakar dan segera disajikan. Agar lebih efisien, kipas konvensional sudah ditinggalkan, diganti dengan kipas angin yang tak pernah berhenti berputar.

Untuk bahan baku ayam, saat masuk ke dapur sudah berupa ayam potong. Tapi, pengelola kedai mensyaratkan pasokan ayam potong dengan ukuran tertentu, umur tertentu, dan dengan berat yang sedang. Agar kualitas terjaga, Jo Gelo hanya mengandalkan satu pemasok langganan saja yang langsung mengambil dari peternak. "Kalau mengambil dari pasar, takut kualitasnya tak terjamin," ungkap Zaenal.

Tanpa bermaksud sombong, Zaenal mengungkapkan bahwa ayam bakar resep mertuanya ini memang lezat. Gampang disesuaikan dengan lidah. Tak hanya orang Solo atau Yogya saja yang demen. Pengunjung dari lain kota pun bisa gampang terpikat. Apalagi ada keistimewaan lain: lalapnya yang disajikan segar dan sambalnya yang pedas-pedas enak.

Dengan berbagai kekhasan itu, Zaenal tak perlu khawatir dengan persaingan yang makin ketat. Bahkan, di sebelah Jo Gelo sekarang ini juga ada penjual ayam bakar kampung. "Kalau dilihat, sih, masih menang kita. Jelek-jelek begini Jo Gelo sudah punya nama. Jadi tetap jadi incaran pembeli," kata Zaenal, bangga. Ia lantas menyebut artis Ratna Listy dan Grup Naif pernah mampir di Jo Gelo.

Meski kedainya terbilang sukses, Zaenal mengaku tak ingin membuka cabang di tempat lain di Solo ataupun di luar kota. Bagi Zaenal dan juga keluarga Hj. Siti Yatmi, meski warungnya kecil dan sederhana, itu sudah lebih dari cukup untuk menghidupi seluruh keluarga. Dengan tanpa cabang, kualitas bisa terjaga. Lagi pula, sekarang ini banyak cabang palsu.

Jadi, kalau memang suka, pembeli bisa menyantap ayam bakar di sini sekenyang-kenyangnya. Kalau mau bawa oleh-oleh, ya, tinggal minta dibungkus. Ujung-ujungnya, rezeki Jo Gelo ini memang semanis rasa ayamnya.

Pesanan Lintas Kios

Ada yang unik di kedai Jo Gelo. Bagaimana tidak. Kedai ini punya dua lokasi yang hanya dipisahkan oleh sebuah kios. Kios yang lama statusnya pun masih kontrak. Oleh si empunya lokasi, tempat itu tak boleh dibeli. Padahal, hoki Jo Gelo sulit dilepaskan dari situ.

Ketika Jo Gelo makin besar dengan untung yang makin menggembung, lokasi baru jelas dibutuhkan. Padahal, membuka ca-bang jelas tak mungkin. Akhirnya, pilihan jatuh pada lokasi yang letaknya selisih satu kios itu. Dapur yang merupakan "otak" kedai adanya di lokasi kontrakan.

Tak urung, untuk mengantarkan ayam bakar yang dipesan pembeli dari kedai sebelah, pegawai Jo Gelo mesti lewat depan kios orang lain. Nah, kalau tamu pesan menu, pegawai kedai yang berjumlah sepuluh orang itu harus teriak-teriak lewat intercom.

Tapi, itu semua bukan masalah. "Justru ini jadi ciri lain dari Jo Gelo," kelakar Zaenal.

Tidak ada komentar: