Laman

Senin, 10 November 2008

Mie Kondang, Dari Rakyat Hingga Pejabat

Mengawali dari penjual mie gerobak, Sakidjan berhasil mengembangkannya menjadi 10 outlet. Sejumlah pejabat tercatat menjadi pelanggannya, salah satunya KASAD Djoko Santoso.
Satu lagi bukti bahwa untuk sukses seseorang hanya perlu satu modal: tekad. Itulah yang ditunjukkan Sakidjan, pengusaha mie ayam asal Jatiroto, Wonogiri. Dengan usaha tersebut Sakidjan berhasil meraup omset sekitar Rp 300 juta per bulan. Dan mie hasil olahannya disantap tidak saja oleh rakyat namun juga jadi langganan sejumlah pejabat.

Padahal, awalnya Sakidjan tidak memiliki ketrampilan mengolah mie ayam. Ketika hijrah ke Jakarta pada 1973 lalu, Sakidjan bekerja sebagai kuli bangunan. Atas anjuran pamannya ia berguru ke seorang penjual mie ayam yang berasal dari Baturetno, sebuah kecamatan yang terletak di Tenggara Wonogiri. “Sampai satu bulan saya masih belum mahir mengolah mie ayam,” kenangnya.
Meski belum mahir mengolah mie, dia direkrut seorang pengusaha mie sebagai karyawan untuk berjualan mie dengan gaji Rp 300 per hari. Selama 1,5 tahun ia bekerja dan mengumpulkan gajinya. “Selama kurun waktu itu saya tidak pernah pulang kampung. Bukannya tidak punya keinginan pulang kampung tetapi tidak mempunyai uang,” ujar Sakidjan.

Menurut hemat Sakidjan, daripada uang digunakan mudik lebih baik ditabung untuk dijadikan modal kelak jika ada kesempatan berjualan mie sendiri. Kebetulan ada seorang temannya yang menjual pangkalan (lapak kaki lima) di Jembatan Lima. Kesempatan itu tidak disia-siakannya. “Saya beli pangkalan itu Rp 40 ribu,” ujarnya.

Mulailah Sakidjan berjualan mie sendiri dengan menyewa gerobak dari seseorang. Aturan main yang berlaku saat itu adalah penyewa gerobak harus mengambil mie kepada pemilik gerobak.

Perlahan Sakidjan bisa mengembangkan usahanya dan menyewa empat gerobak dan ditempatkan di empat pangkalan di Kawasan Kota. Ini berlangsung sampai tahun 1979. Pada tahun 1980 penjualan mienya di Kota menurun sehingga Sakidjan mulai berputar-putar untuk mencari tempat yang lebih strategis. Ia kemudian menemukan tempat berjualan yang dipandangnya strategis yakni di Pintu I Senayan. “Saya tetap menyewa gerobak dan berbelanja dari orang yang sama,” terangnya.

Dalam waktu satu tahun Sakidjan berhasil memiliki lima pangkalan di sekitar Senayan. Usahanya mulai memperlihatkan perkembangan. Dengan lima armada gerobak Sakidjan berhasil menjual mie 30 – 40 kg per hari.

Mulai saat itu, tercetus dalam pikirannya untuk memproduksi mie sendiri sehingga bisa mendongkrak keuntungan. Di saat anak buahnya berangkat berjualan, Sakidjan mencoba-coba untuk memproduksi mie.

Diungkapkan Sakidjan, para produsen mie saat itu pelit untuk berbagi resep pembuatan mie sehingga ia harus berjuang sendiri untuk mencari formulanya. “Saya nekad untuk membeli mesin pembuatan mie seharga Rp 150 ribu,” tuturnya.

Meski memiliki mesin tidak serta merta Sakidjan bisa memproduksi mie, karena ia memang belum tahu resepnya. “Hampir enam bulan saya mengalami kegagalan untuk memproduksi mie sendiri,” ungkapnya. Selama enam bulan itu juga Sakidjan harus rela membuang mienya yang tidak jadi. Tapi hal ini tidak menyurutkan tekadnya untuk bisa memproduksi mie sendiri. Dengan melakukan trial and error akhirnya Sakidjan berhasil memproduksi mie sendiri. Namun hasil produksinya juga tidak bisa bertahan lama, paling 10 jam. Namun Sakidjan tidak memusingkan hal ini. “Saya memproduksi mie untuk keperluan jualan hari itu juga. Saya tidak tahu menggunakan bahan pengawet dan sampai kini tidak pernah menggunakan bahan pengawet,” ujarnya. Justru hal ini kelak di kemudian hari sangat menguntungkan Sakidjan karena ia tidak risau ketika kasus makanan berformalin (di antaranya mie) merebak ke permukaan.

Ketika melihat usahanya mulai berkembang, Sakidjan menjual sepeda motornya Honda GL-100 guna membuat gerobak sendiri. Dengan uang hasil penjualan sepeda motor saya bisa membuat lima gerobak. Tidak sebagaimana aturan sebelumnya, Sakidjan tidak menyewakan gerobak, tetapi orang yang berdagang dengan gerobaknya harus mengambil mie dari Sakidjan. Resep ini ternyata cukup jitu, karena pertumbuhan armada gerobaknya terus merangkak. Saat ini tercatat ia memiliki 80 gerobak. “Meski hanya mengambil keuntungan dari penjualan mie, tetapi hasilnya lumayan,” imbuhnya.

Dalam perjalanannya, setelah bermitra dengan Bogasari dengan masuk sebagai anggota Paguyuban Tunggal Rasa, Sakidjan kemudian membuka outlet, pada tahun 1997. Tetapi brand mie ayam yang diusung saat itu masih memakai nama Mie Tunggal Rasa, bukan Mie Kondang. Sejak saat itu gerainya bertambah dan kini sudah mencapai 10 buah.

Setelah dipercaya menjadi salah satu menu dalam acara Open House yang diselenggarakan selama satu bulan penuh oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, Sakidjan mengubah brandnya menjadi Mie Kondang. “Untuk mengubah nama tersebut saya sudah mengkonsultasikan lebih dulu kepada para penasehat Paguyuban Tunggal Rasa, di antaranya Pak Franky (Welirang) dan Pak Suyono (mantan Kasum ABRI),” ucapnya.

Dalam penyelenggaraan Open House tak kurang 15 ribu mangkok disuguhkan untuk rakyat maupun pejabat yang hadir dalam acara tersebut. “Sebelum disajikan mie kami sudah dites terlebih dahulu. Karena sedari awal saya tidak pernah menggunakan pengawet, mie saya lolos tes,” ujarnya.
Selain dijadikan menu dalam acara tersebut, Mie Kondang juga dijadikan menu sejumlah acara yang digelar oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Djoko Santoso maupun isterinya. Belum lama ini Mie Kondang juga ikut berpartisipasi dalam kampanye mie yang diprakarsai Menteri Perindustrian, Fahmi Idris.

Dengan tenarnya Mie Kondang, Sakidjan bisa membukukan penjualan Rp 10-12 juta per hari. Sementara dari pesanan untuk berbagai acara Sakidjan bisa memperoleh tambahan pendapatan antara Rp 15-20 juta per bulan.

Isu formalin memang agak menyurutkan penjualan Mie Kondang. Tetapi penjualan di outletnya tidak menurun drastis. Hanya armada gerobaknya yang agak terpukul. “Kami telah melampirkan surat dari Depkes yang menyatakan mie kami bebas dari pengawet, termasuk formalin, pada setiap armada gerobak dan outlet. Semoga hal ini bisa mengatasi persoalan tersebut,” kata Sakidjan.

Sakidjan menambahkan, dirinya membuka peluang bagi pihak lain untuk bekerja sama. Artinya, jika ada pihak yang ingin membuka gerai Mie Kondang cukup merogoh Rp 70 juta. Biaya itu sudah termasuk furniture dan setting.

Bahkan bagi pihak yang tidak memiliki modal samasekali tetapi ingin berjualan mie, Sakidjan mempersilakan orang tersebut untuk berguru kepadanya. “Gratis, tidak dipungut biaya. Ini sebagai ladang amal ibadah saya,” pungkas Sakidjan.

1 komentar:

infogue mengatakan...

artikel anda bagus dan menarik, artikel anda:
Artikel peluang-bisnis terhangat
Artikel anda di infogue

anda bisa promosikan artikel anda di http://www.infogue.com/ yang akan berguna untuk semua pembaca. Telah tersedia plugin/ widget vote & kirim berita yang ter-integrasi dengan sekali instalasi mudah bagi pengguna. Salam!