Laman

Minggu, 26 Oktober 2008

Merangkai Fulus lewat KataKita

Tak hanya piawai menyusun kata menjadi sebuah puisi, cerpen, atau novel, Sitok Srengenge juga mulai piawai menjalankan bisnis penerbitan buku, KataKita. Dalam setahun ia sudah menerbitkan tiga puluh buku. Biasanya sastrawan agak malas berurusan dengan bisnis. Apalagi memiliki dan menjalankan bisnis sendiri. Kalau begitu ukurannya, berarti Sitok Srengenge termasuk salah satu sastrawan yang langka.

Ia kini tengah menikmati berbisnis sebagai penerbit. Keren juga lo, KataKita namanya.Bukan berarti penerbit ini lantas cuma menerbitkan hasil karyawannya sendiri. Tidak sama sekali. Sebab, hingga sekarang belum ada satu pun buku Sitok yang diterbitkan oleh KataKita. Sitok baru sampai pada tahap menimbang-nimbang untuk menerbitkan bukunya lewat KataKita. Yang jelas, "KataKita lebih bagus," ujarnya pede.KataKita, kata Sitok, lahir karena ia menilai jumlah penerbit masih minim dan tak sebanding dengan potensi pembaca yang ada.

Parahnya, penerbit yang ada, menurutnya tidak terlalu bagus mutunya. "Ngomong soal editing sama lay out. Uh, banyak yang berantakan," keluh Sitok. Itulah yang akhirnya mendorong sastrawan yang lahir di Godong Jawa Tengah ini untuk mendirikan KataKita.Segudang pengalaman juga memantapkan Sitok untuk mendirikan KataKita. Maklum, sudah belasan tahun Sitok menggeluti dunia sastra. Ia pun merasa sudah tahu persis segala macam urusan dunia penerbitan. Dari editing, lay out, hingga pemasaran sebuah buku. "Bentuk kongkretnya, ya itu tadi harus punya penerbitan buku sastra sendiri," kata Sitok panjang lebar.

Urusan modal juga tak menjadi masalah bagi Sitok. Berbeda dengan penulis yang umumnya miskin-apalagi di Indonesia yang belum menghargai penulis-Sitok mengaku punya tabungan yang cukup besar hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun untuk mendirikan KataKita sendiri. "Sebenarnya, duit itu saya persiapkan untuk membangun art corner di Jogja," bisik Sitok, yang ogah membeberkan modal awal usahanya itu.Semuanya diurus sendiriBerbeda dengan bayi berumur setahun baru belajar berjalan, KataKita sudah berjalan cukup cepat.

Menurut pengakuan Sitok, sekarang ini sudah 30 judul buku yang ia terbitkan. "Malah sudah ada yang cetak ulang sampai tujuh kali, lo," ujar Sitok bangga. Ia sendiri tak sekadar menjadi komandan di KataKita, tapi juga terlibat pada semua proses produksi secara detail.. "Mulai dari memilih naskah yang masuk, editing, lay out, hingga ke pemasaran, aku ngerti semuanya," tambahnya. Bukan berarti Sitok tak percaya pada anak buahnya ya. Menurut Sitok, dia memang sengaja mengikuti semua proses produksi karena produk KataKita masih terhitung sedikit. "Saya enggak ingin sembarangan, " ujarnya mantap. Selain itu, ia juga berharap buku terbitan KataKita punya mutu yang bagus. "Ini bukan sekadar bisnis tapi juga idealisme," imbuh Sitok.

Tak heran jika Sitok mengaku sangat ketat saat menyeleksi naskah. "Saya tidak mau menerbitkan buku yang pasti laku namun mutunya jelek," tegasnya. Biarpun karya-karya Sitok adalah sastra yang serius, tak semua terbitan KataKita masuk kategori sastra serius itu. Ada juga buku-buku pop remaja yang ia terbitkan. Sitok rupanya tak menyangkal bahwa pasar buku sastra serius sangat tipis. Kalau hanya mengharapkan dari penjualan buku sastra serius, "Bisa-bisa KataKita harus mengucapkan kata perpisahan sebelum setahun, ha, ha, haĆ¢€¦," ujar Sitok.Ini bukan main-main lo. Soalnya, bisnis penerbitan buku memang susah-susah gampang. Sitok sendiri pernah merasakan masa pahit berbisnis buku.

"Saya pernah kehabisan modal. Uang tabungan keluarga habis, ludes, des," kata Sitok. Pengalaman itu terjadi saat KataKita baru berumur empat bulan. Waktu itu, kata Sitok, KataKita harus melunasi biaya cetak. Sementara hasil penjualan buku yang sudah diterbitkan baru akan diterima pada bulan ke lima. Jadi, "Itu pengalaman yang memang menyeramkan. Bikin saya degdegan," imbuh Sitok. Pun ketika BBM kini menjadi biang persoalan. Sitok mengaku sudah mulai berhitung efeknya atas usaha penerbitannya. Salah satunya antisipasinya adalah dengan mengurangi jumlah produksi atau mengganti mutu kertas agar KataKita tetap bisa berjalan.

Biasanya, KataKita mencetak 3.000 buku sekali cetak, jumlah tersebut bisa saja berkurang. Padahal, "Jumlah itu sudah pas," ujarnya. Artinya, ongkos produksinya sudah setimpal dengan penjualan buku. Selain itu, 3.000 adalah jumlah yang cukup layak untuk disebar ke berbagai toko. Nah, "Kalau BBM nanti naik. Mungkin saja akan kita kurangi," ujar Sitok masygul. Tak semua urusan bisa dipegang Sitok. Untuk urusan distribusi misalnya, Sitok menunjuk sebuah distributor untuk menangani semua penjualan buku terbitan KataKita.

Uniknya, dari awal sudah ada perjanjian bahwa KataKita tidak menerima pengembalian buku. "Ada perjanjian hitam di atas putih, lo," lanjutnya. Karena itu, KataKita mungkin satu-satunya penerbitan buku yang tidak mempunyai gudang.Strategi-strategi itu terbukti ampuh. Biarpun berawal dari idealisme dan bukan dimaksudkan untuk mencari laba, KataKita kini bertumbuh dengan pesat. Tiap bulan, penjualan buku terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah produksi.

Tak heran jika saat ini total aset penerbitan buku yang sekarang ini kebanjiran naskah itu sudah mengembang berlipat-lipat. "Jumlahnya unbelievable," kata Sitok. Lagi-lagi, dia tak mau menyebutkan angkanya.+++++Tukang Cerita Turun-temurunNama Sitok Srengenge bukanlah nama yang sengaja dipakai sebagai ganti nama aslinya seperti yang jamak dilakukan para penulis. Nama itu benar-benar asli pemberian ayahnya. Rupanya, ayah Sitok memang gemar memberikan nama-nama yang unik buat anak-anaknya. Tak cuma itu, ayah Sitok juga dikenal sangat gemar bercerita. Saban hari, orang tua itu akan bertandang ke warung atau ke rumah tetangga untuk bercerita tentang apa saja. "Kalau hidup di kota, mungkin ayah saya sudah jadi penulis, ha ha ha," ujar Sitok.Lain ayahnya, lain Sitok.

Sejak umur belasan, Sitok sudah menuangkan ceritanya lewat tulisan. Karyanya tak hanya diakui di dalam negeri saja, penduduk mancanegara pun kagum pada kemahirannya merangkai kata. Tak heran pada tahun 2000, bersama dengan beberapa orang lainnya, Sitok pernah dinobatkan majalah Asiaweek sebagai Leaders for the Milenium in Society and Culture.Nah, akar ini tak hanya berhenti pada Sitok. Putri semata wayang Sitok pun mewarisi kemahiran bertutur lewat tulisan itu. Karya perdana putrinya yang berjudul Nothing but Love tak cuma diterbitkan, tapi dicetak ulang hanya sebulan setelah diterbitkan. "Sekarang sudah cetakan kedelapan," tutur Sitok bangga. Padahal, Sitok sempat bimbang untuk menerbitkan novel karya anaknya. "Tapi, dari pendapat beberapa teman, tanpa mengatakan ini karya siapa, mereka bilang ini bagus," ujar Sitok sambil terbahak. Jadi, benar-benar turun-temurun, kan?

Tidak ada komentar: